Sabtu, 29 Januari 2011

GETIR

Panji termenung di depan kamar kontrakannya yang akan habis bulan ini, ia melipat surat kabar yang baru saja dibacanya pagi ini dengan perasaan sedikit geram.
“Aku tak pernah mengerti dengan orang-orang Indonesia sialan ini, bagaimana, sih cara pandang mereka, pola pikir mereka…korupsi dibilang sudah tradisi, pungli yang sudah kebablasan dibilang adalah budaya yang sudah mengakar kuat. Ahh…! Dasar mental budak, orang jajahan. Jakarta cuma tempat cari duit haram dan buang sampah… yang haram aja susah, apalagi yang halal, dimana otak mereka itu…orang berpendidikan cuma jadi kacung orang yang punya kekuasaan, sementara orang-orang kecil cuma jadi sapi perahan para kapitalis Indonesia yang jadi boneka kapitalis barat. Bangsat! Bobrok! Tai…semua!!”    

Ingin sekali Panji berteriak, mendobrak segala paham kolot dan kuno yang ada disekitarnya dan yang menjadi duri di pikirannya tentang situasi dan kondisi yang dibacanya di Koran pagi ini.
Ia sudah merasa bahwa Indonesia ini takkan pernah memberikan tempat untuknya sebagai pemuda yang Idealis, rasionalis, logis, kritis dan berwawasan maju.

“Tempatku bukan disini, aku akan jadi budak, jadi kacung, jadi penjilat kalo aku ikut dengan paham para Indonesians,  tapi diharusnya aku berada…ahh…! dunia ini sudah gila.
“Ini jaman edan, kalo enggak ikut edan enggak akan kebagian”. Teringat ia akan Syair Jawa Ronggowarsito yang diterjemahkan sekenanya. “Sialan, elu itu yang edan…bikin syair yang bakal buat orang yang nggak paham jadi edan.”

Lalu ia kembali termenung. Ia ingat bahwa ia harus membayar uang kontrakan bulan ini dan bulan kemarin, kalo tidak ia akan diusir oleh pemilik kontrakan.

“Maaf, ya…Mas Panji! Bukannya saya enggak mau kasih toleransi, tapi banyak yang mau ngontrak disini selain Mas Panji. Mas Panji ‘kan tahu…sekarang apa-apa sudah pada naik, ya…listrik, air, ya…BBM…, pokoknya kalo sampai akhir bulan ini mas Panji enggak bisa bayar…ya, lebih baik Mas Panji…MINGGAT!!
Terngiang-ngiang ucapan Bu Retno, pemilik kontrakan, yang pelan namun pedas, tiga hari yang lalu. 

“Sialan…nyari duit dimana lagi gue…masak ngutang lagi sama Mas Pardi, kakakku.”
Sementara itu ia merasakan lapar yang menusuk di perutnya, dari semalam ia belum makan, sementara uang yang tersisa tinggal beberapa ratus rupiah lagi di dompetnya.

Ia jadi teringat ajakan temannya, bekas teman sekamarnya dulu, Udin.
“Gampang kok kerjanya…kita cuma narikin duit dari supir-supir truk yang keluar dari pintu pelabuhan, abis itu kita setor sama polisi-polisi yang mangkal di pos pelabuhan. Kalo nggak dikasih, kita pasang muka serem, kalo perlu kita mabok dulu…kalo supirnya ngelawan, banyak yang bakal belain kita…kemaren aja, ada yang ngelawan, bonyok dihajar rame-rame sama anak-anak, kalo kita ketangkep…paling lama, sehari juga dibebasin. Ya…kalo enggak ada kita, darimana polisi-polisi itu dapet duit, ya…nggak?!

Panji menjadi bimbang.
“Coba dulu gue ikut ajakannya si Udin…mungkin gue nggak pusing dan kelaparan kayak gini!”. Tapi ia kembali menepis pikiran itu. 
“Tapi gue ini Sarjana, berpendidikan, bekas aktivis kampus lagi, masak gue kerja kayak preman gitu…malakin supir truk”.
“Eh, Ji…itu bukan malak, Itu pungutan resmi, orang kita ‘kan nyetor sama …istilahnya aparat negara, deh! Itu udah jatahnya mereka…kita cuma ngebantu. Lumayan Ji, enggak sampe sehari gue bisa dapet limapuluh ribu, sekarang kerja apa yang bisa dapet segitu!”

Panji terdiam, ia membayangkan para polisi pelabuhan tersebut, yang enak-enakan duduk-duduk di pos, sambil ngerokok santai dan tiap sore dapat setoran yang jumlahnya bisa sampai ratusan ribu sementara Udin dan teman-temannya rela berpanas-panasan dan terpanggang sinar matahari sambil berlarian mengejar truk-truk kontainer menagih uang, yang katanya, uang keamanan itu, sambil menggedor-gedor pintu sopir, setengah memaksa… 
“Ah, gue nggak bisa, Din. Bagi gue, duit kayak gitu tetap aja duit haram, gue nggak mau…”
“Ah, belagu lu! Haram, haram… Jangan kayak ustadz, deh lu, Ji…! Sekarang nyari yang haram aja susah, apalagi yang halal…udah…gue nggak peduli lagi, gue cuma mau nolongin elu…inget, ya! Jangan sekali-kali lagi, elu minjem duit haram gue…biarin, gue nggak peduli kalo lu bakal mati kelaperan, nungguin duit halal elu yang jatuh dari langit…!! Sok suci, lu…!!”

Panji teringat bagaimana marahnya Udin kepada dirinya sampai-sampai ia tak pernah lagi pulang ke kontrakannya sampai saat ini. Ia mengerti, Udin cuma tamatan SMP yang hanya bisa sedikit berharap akan jalan hidupnya, sementara ia….tamatan S1 Teknik Sipil dari Universitas Negeri di Surabaya, dengan nilai yang memuaskan dan keahlian yang menurutnya sudah cukup untuk bisa terjun ke dunia kerja. Tapi kenyataannya…, sudah hampir setahun ia menganggur setelah sebelumnya ia mendapat puluhan panggilan kerja, segala tes, wawancara dan segala macam tetek bengek yang akhirnya hanya membuat dadanya sesak karena tak sedikit modal yang dikeluarkannya, usaha dan tenaga yang menurutnya sudah habis-habisan, belum lagi utang-utangnya yang menumpuk dan pada akhirnya ia tak pernah mendapatkan hasil apa-apa kecuali penolakan dan penolakan. Panji merasa kepalanya berputar-putar bila mengingat hal itu. Ia tahu ia harus memutuskan sesuatu.

Panji mengambil beberapa uang recehan di dompet usangnya dan pergi ke warung didepan rumahnya. Ia membeli sebuah pisau silet murahan. Ia lalu masuk ke dalam kamarnya setelah sebelumnya mengambil koran di atas bangku reyot kamarnya. Ia membuka-buka Koran itu mencari sesuatu dan…
“Ini dia… gue tahu, gue harus memutuskan sesuatu sebelum semuanya makin berantakan!”
Panji kemudian melemparkan surat kabar itu ke lantai kamarnya dan masuk ke dalam kamar mandi. Ia tersenyum, “Habis ini… semua akan berubah…”

Sementara itu di lantai kamarnya terlihat sebuah berita yang terpampang di muka surat kabar yang baru saja dilemparkan Panji yang berisi: 
“Seorang Pengangguran Yang Stress Berat Ditemukan Tewas Di Kamarnya…”

=====================================

Siang itu, seorang pemuda keluar dari sebuah gedung di salah pusat niaga di selatan Jakarta dengan wajah yang berseri-seri sambil menggenggam sebuah map yang berisi surat lamaran dan dokumen-dokumen yang diperlukan seorang pencari kerja. Pemuda itu yang ternyata adalah Panji kemudian duduk di sebuah halte menunggu bis yang akan mengantarkannya ke alamat-alamat berikutnya yang sudah disusun pagi tadi setelah dia mandi dan "bercukur rapi". 
“Tinggal dua alamat perusahaan lagi, gue harus cari sampai ketemu…”
Ia tahu, ia masih punya banyak harapan untuk merubah hidupnya. Dan Panji percaya itu. **   

0 komentar:

Posting Komentar

SHARE THIS