Sabtu, 02 Juni 2012

Karena Cinta Tidak Harus Dikatakan dengan Bunga

Untuk para teman wanita dewasaku yang masih saja mengkhawatirkan "feel" dari para suaminya, cerita ini bagus banget, semoga bisa membuka mata kalian semua... 


Suamiku adalah seorang Insinyur, aku mencintai sifatnya yang alami dan aku menyukai perasaan hangat yang muncul di hatiku ketika aku bersandar di bahunya yang bidang.
Tiga tahun dalam masa perkenalan, dan dua tahun dalam masa pernikahan, harus kuakui, aku mulai merasa lelah, alasan2ku mencintainya dulu telah berubah menjadi sesuatu yang menjemukan.
Aku adalah seorang wanita yang sentimentil dan benar-2 sensitif serta berperasaan halus. Aku merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak yang menginginkan permen. Tetapi semua itu tidak pernah kudapatkan darinya.

Suamiku jauh berbeda dari yang aku harapkan. Rasa sensitif-nya kurang. Dan ketidakmampuannya dalam menciptakan suasana yang romantis dalam pernikahan kami, telah mementahkan semua harapanku akan cinta yang ideal.
Suatu hari, aku memberanikan diri untuk mengatakan keputusanku kepadanya,
“Aku ingin kita bercerai”...
"Mengapa?", dia bertanya dengan terkejut.


"Aku capeek, aku bener2 capek. Kamu gak pernah bisa memberikan cinta yang aku inginkan"…

Dia terdiam dan termenung sepanjang malam di depan komputernya, tampak seolah-olah sedang mengerjakan sesuatu, padahal tidak. Kekecewaanku makin bertambah, seorang pria yang bahkan tidak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang bisa aku harapkan darinya?

Dan akhirnya dia bertanya, "Apa yang bisa aku lakukan untuk merubah keputusanmu itu?".

Aku menatap matanya dalam-dalam dan menjawab dengan pelan, "Aku punya pertanyaan, jika kamu dapat menemukan jawabannya di dalam hatiku ini, aku akan berubah pikiran.
"Seandainya, aku menyukai setangkai bunga indah yang ada di tebing gunung dan kita berdua tahu jika kamu memanjat gunung itu, kamu akan mati. Apakah kamu akan tetap mengambilnya untukku?"
Dia termenung dan akhirnya berkata, "Aku akan kasih jawabannya besok."

Hatiku langsung gundah mendengar responnya.


Keesokan paginya, dia tidak ada dirumah, dan aku menemukan selembar kertas dengan oret-2an tangannya di bawah sebuah gelas yang berisi susu hangat yang bertuliskan....
"Sayang, aku tidak akan mengambil bunga itu untukmu, tetapi ijinkan aku untuk menjelaskan alasannya."

Kalimat pertama ini menghancurkan hatiku. Aku melanjutkan untuk membacanya.

"Kamu selalu mengetik di komputer dan selalu saja error, kamu bingung dan malah mengacaukan programnya di PC kita, dan akhirnya kamu menangis di depan monitor.
Aku… harus memberikan jari2ku supaya bisa membantu kamu dan memperbaiki programnya."

"Kamu selalu lupa membawa kunci rumah ketika kamu keluar rumah, dan aku harus memberikan kaki aku supaya bisa mendobrak pintu, dan membukakan pintu untukmu ketika pulang."

"Kamu suka jalan-2 ke luar kota tetapi selalu nyasar di tempat-tempat baru yang kamu kunjungi, aku harus menunggu di rumah agar aku bisa memberikan mataku untuk mengarahkan kamu."

"Kamu selalu pegal-2 pada waktu 'teman baikmu' datang setiap bulannya, dan aku harus memberikan tanganku untuk memijat kakimu yang pegal."

"Ketika kamu senang diam di rumah, aku selalu kuatir kamu akan menjadi 'aneh'. Dan aku harus membelikan sesuatu yang dapat menghiburmu di rumah atau meminjamkan lidahku untuk menceritakan hal-hal lucu yang aku alami."

"Kamu selalu menatap komputermu, membaca buku dan itu tidak baik untuk kesehatan matamu, aku harus menjaga mataku, agar ketika kita tua nanti, aku masih dapat menolong mengguntingkan kukumu dan mencabuti ubanmu."

"Tanganku akan memegang tanganmu, membimbingmu menelusuri pantai, menikmati matahari pagi dan pasir yang indah. Menceritakan warna2 bunga yang bersinar dan indah seperti cantiknya wajahmu".

"Tetapi sayangku, aku tidak akan mengambil bunga itu untuk mati. Karena, aku tidak akan sanggup melihat air matamu mengalir menangisi kematianku."

"Sayang, aku tahu, ada banyak orang yang bisa mencintaimu lebih dari aku mencintaimu."
"Untuk itu istriku, jika semua yang telah diberikan tanganku, kakiku, mataku, tidak cukup bagimu. aku tidak bisa menahan dirimu mencari tangan, kaki, dan mata lain yang dapat membahagiakanmu."

Air mataku jatuh ke atas tulisannya dan membuat tintanya menjadi kabur, tetapi aku tetap berusaha tuk membacanya.

"Dan sekarang, sayangku, kamu telah selesai membaca jawabanku. Jika kamu puas dengan semua jawaban ini, dan tetap menginginkanku untuk tinggal di rumah ini, tolong bukakan pintu rumah kita, aku sedang berdiri sekarang di luar menunggu jawabanmu."
"Jika kamu tidak puas, biarkan aku masuk untuk membereskan barang-barangku, dan aku tidak akan mempersulit hidupmu. Percayalah, bahagiaku bila kau bahagia…"

Aku segera berlari membuka pintu dan melihatnya berdiri di depan pintu dengan wajah flat dan penasarannya. Tangannya sedang memegang susu dan roti kesukaanku. Aku pun segera memeluknya. Menangis di dadanya yang bidang. 
Oh, maafkan aku sayang… kini aku tahu, tidak ada orang yang pernah mencintaiku lebih dari dia mencintaiku.


Itulah cinta, di saat kita merasa cinta itu telah berangsur-angsur hilang dari hati kita, karena kita merasa dia tidak dapat memberikan cinta dalam wujud yang kita inginkan, maka cinta itu sesungguhnya telah hadir dalam wujud lain yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.
Seringkali yang kita butuhkan adalah memahami wujud cinta dari pasangan kita, dan bukan mengharapkan wujud tertentu.

Ingatlah...  Cinta tidak selalu harus berwujud "sekuntum bunga"...

0 komentar:

Posting Komentar

SHARE THIS